Disclaimer: Saya bukan mahasiswa di FISIP atau mempelajari privilese secara akademis di ruang kelas, sehingga jika ada kekeliruan, silakan dikoreksi di kolom komentar. Tulisan ini lahir dari sumber-sumber yang saya baca serta evaluasi diri sendiri. Selamat membaca.
Privilese
atau hak istimewa akhir-akhir ini sering dibahas di sosial media. Kesuksesan
dan pencapaian seseorang kini tidak melulu hanya dilihat dari kerja kerasnya,
tapi juga dari hak-hak istimewa yang melekat pada diri orang itu. Privilese merupakan
kata serapan dari kata bahasa Inggris privilege, yang memiliki
arti keuntungan yang hanya dimiliki oleh orang atau kelompok tertentu (diperoleh
secara otomatis/tanpa usaha, karena merupakan bagian dari kelompok itu).
Persepsi mengenai privilese yang paling banyak dipahami oleh masyarakat adalah
hak istimewa yang diperoleh seseorang karena lahir dari keluarga kaya atau
memiliki orang tua dengan jabatan tertentu. Kaya raya dan jabatan memang
membukakan banyak jalan, memperbanyak pilihan, memperluas koneksi, dan
sebagainya. Tapi hak istimewa tidak melulu mengenai uang dan jabatan, sadar
atau tidak sadar, saya dan anda sebenarnya punya privilese sendiri-sendiri.
Mari kita bahas bersama.
- ·
Privilese Ras
Berkenaan
dengan ras, mereka yang berkulit putih memang lebih diuntungkan dibanding
mereka yang masuk dalam kategori ‘person of color’. Kampanye ‘Black
Lives Matter’ pada 2020 lalu dengan jelas ‘menelanjangi’ rasisme di Amerika
Serikat yang terjadi selama berabad-abad dan terstruktur sampai saat ini. Segregasi
lingkungan perumahan memengaruhi lingkungan sekolah dan kemudian berimbas pada
sumber daya manusianya. Siklusnya berulang terus-menerus, lagi dan lagi.
Di
dalam negeri sendiri, privilese ras juga ada. Rasisme terhadap saudara-saudara
kita dari Papua sering terjadi. Penelitian dari Georgetown University oleh
Veronika Kusumaryati menunjukan bahwa kasus rasisme terhadap Orang Asli Papua
(OAP) selalu berulang. Perulangan itu menunjukkan bahwa rasisme terhadap OAP
itu adalah persoalan struktural dan sistematik yang melibatkan kebudayaan dan
kepercayaan yang mengakar. Rasisme bukan persoalan individual, tetapi berakar
pada kepercayaan, perilaku, dan sistem sehari-hari masyarakat yang menganggap
ras satu lebih rendah dari ras lain. Lebih lanjut, Veronika berkata bahwa orang
Indonesia sering merasa dirinya punya supremasi moral terhadap orang Amerika
dan Eropa yang rasis. Orang Indonesia merasa dirinya tidak rasis karena
berjuang melawan kolonialisme. Akan tetapi, bisa dilihat dari tindak tanduk
kita ke orang barat, orang Tionghoa, dan orang Papua. Sebenarnya Indonesia
rasis juga.
Akademisi
dari The University of Queensland, Jenny Munro menulis di jurnal daring The
Conversation, menjelaskan bahwa rasisme yang dilakukan orang Indonesia justru
meningkat karena orang Indonesia tidak mau membicarakan apa itu rasisme,
seperti apa bentuknya, dan apa akibatnya. Ia juga menegaskan bahwa rasisme bisa
berakibat serius. Rasisme menyebabkan orang tidak dilibatkan dalam pembahasan
tentang masa depan dirinya sendiri. Hal ini bisa digunakan untuk mencabut
martabat, lahan, otonomi, dan hak.
Jadi,
apa sebenarnya keistimewaan yang diperoleh dengan berada dalam kategori ras
mayoritas? Jawaban paling sederhana: tidak mendapat diskriminasi. Tidak didiskriminasi
memungkinkan seorang individu untuk lebih diterima dan merasa diterima oleh
lingkungan maupun masyarakat secara luas. Ini kemudian berpengaruh terhadap martabatnya
serta bagaimana kemudian individu tersebut mampu mengembangkan dirinya dengan
baik dan berkontribusi balik ke lingkungan.
- ·
Privilese Kelas dan Sosial Ekonomi
Tidak
dapat dipungkiri, semakin tinggi kelas dan status sosio-ekonomi seseorang, semakin
banyak hak istimewa yang diperoleh. Anak yang terlahir di keluarga dengan kelas
ekonomi menengah ke atas, punya lebih banyak pilihan untuk bersekolah. Ia bisa
memilih mau bersekolah di sekolah negeri, atau sekolah swasta dengan fasilitas,
model belajar, sumber daya guru, dan juga koneksi dengan sekolah-sekolah di
luar yang lebih baik. Sementara anak yang lahir dari keluarga dengan kelas ekonomi
menengah ke bawah, mungkin hanya bisa bersekolah di sekolah negeri
paling dekat dengan rumahnya. Kata hanya di kalimat sebelumnya memang sengaja
saya miringkan, bukan untuk merendahkan sekolah negeri tapi untuk membuat pembaca
sadar bahwa sekolah negeri kita (dam sistem pendidikan Indonesia secara luas yang
dirangkai oleh pemerintah), seringkali mengecewakan. Saya lulusan sekolah
negeri dan swasta, dan perbedaan yang kontras jelas saya rasakan.
Tidak
hanya berpengaruh pada pilihan sekolah, privilese kelas juga berpengaruh pada bagaimana
seorang individu mengembangkan dirinya. Anak dari keluarga yang lebih kaya
mampu mendaftarkan diri ke berbagai macam les, sementara anak dari keluarga
yang kurang mampu mungkin harus mencari jalan lain untuk belajar (terkadang
berakhir dengan otodidak, atau tidak mempelajari skill tersebut sama sekali).
Anak dari keluarga yang mampu hanya perlu fokus pada pendidikan dan pengembangan
dirinya, sementara anak dari keluarga kurang mampu mungkin punya beban tanggung
jawab untuk berkontribusi bagi ekonomi keluarganya sehingga ia kemudian
merelakan waktu belajar dan pengembangan dirinya untuk bekerja mendapatkan uang
bagi keluarga.
- ·
Privilese Jenis Kelamin
Hidup
di negara dan dunia yang secara umum mengagungkan sistem patriarki, menguntungkan
laki-laki. Laki-laki dapat memperoleh penghasilan yang lebih daripada perempuan
walaupun keduanya mengerjakan pekerjaan dengan porsi yang sama. Laki-laki selalu
dianggap lebih mampu untuk berkuasa dan memimpin dibanding perempuan walaupun
keduanya punya kualitas yang sama. Laki-laki lebih mampu mengembangkan diri dan
karirnya, sementara perempuan terkekang dengan beban-beban kewajiban domestik rumah
tangga yang seharusnya (dan idealnya), dipikul bersama oleh laki-laki dan
perempuan. Laki-laki bisa berjalan sendiri saat malam tanpa harus takut
dilecehkan, tapi perempuan tidak bisa. Laki-laki bisa lebih terbuka membahas
mengenai hal-hal seksual tanpa harus dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif,
sementara perempuan tidak.
- ·
Privilese Orientasi Seksual
Pembahasan
mengenai orientasi seksual masih jarang ditemukan. Mengapa? Karena mereka
dengan orientasi seksual yang berbeda seringkali dicap aneh, berbahaya, dan
tidak perlu dibahas secara serius (kadang bahkan diolok). Orang dengan
orientasi seksual yang straight (laki-laki menyukai perempuan, perempuan
menyukai laki-laki) tidak perlu menghadapi diskriminasi yang mengancam keamanan
atau bahkan karirnya karena orientasi seksualnya. Ia dapat bergaul dan berbaur
di masyarakat, tanpa takut adanya diskriminasi atau dicap aneh dan berbahaya.
Orang yang straight mampu bekerja dengan baik dan leluasa tanpa takut
orientasi seksualnya diketahui dan mungkin dipandang merusak nama
lembaga.
- ·
Privilese Agama
Ketika
agamamu adalah agama mayoritas di daerah tempatmu tinggal, kamu dapat beribadah
dengan tenang tanpa takut dieksekusi atau dibom. Ketika tiba jadwalnya untuk
pelajaran agama kamu hanya perlu duduk di kelas dan menunggu guru datang,
sementara teman-temanmu yang lain harus mencari guru dan belajar di ruangan
yang lain (atau kadang di beberapa kasus, ikut duduk di kelas dan mengikuti pelajaran
agamamu karena di sekolah itu tidak ada guru agama untuk agamanya). Ketika hari
raya agamamu dirayakan, hampir semua instansi akan diliburkan atau bahkan
diperpanjang dengan cuti bersama. Agama yang bukan mayoritas? Belum tentu.
- ·
Privilese Tubuh
Ketika
kamu tidak bertubuh cacat kamu dapat bepergian dengan lebih leluasa, sementara
jika kamu bertubuh cacat mungkin kamu akan menimbang-nimbang terlebih dahulu, “apakah
fasilitas publik di tempat tersebut dan jalan yang akan saya lewati ramah bagi
penyandang disabilitas seperti saya?”. Ketika kamu sehat secara fisik, kamu mampu
melamar pekerjaan di berbagai bidang, sementara teman-teman disabilitas belum
tentu demikian.
- ·
Privilese Lokasi
Jika
tempat tinggalmu adalah di kota, kamu cenderung mendapatkan fasilitas yang
lebih baik dibanding dengan saudara-saudaramu di daerah terpencil. Kamu punya
akses yang lebih baik untuk buku, jaringan internet, komunitas-komunitas, maupun
lembaga-lembaga belajar bukan sekolah. Kamu juga punya pilihan prospek kerja yang
lebih banyak bervariasi.
- ·
Privilese Kewarganegaraan
Jika
kamu adalah pemegang passport Jepang, Singapore, Korea Selatan dan negara-negara
Uni Eropa, kamu dapat bepergian ke 100 lebih negara tanpa perlu mengurus visa
(yang ada kemungkinan ditolak).
Teman-teman, ini baru sedikit dari daftar panjang privilese yang sebenarnya ada namun kurang nampak di mata kita. Di bagian tulisan selanjutnya, saya akan menjabarkan bagaimana saya mengevaluasi kembali diri saya dan menyadari privilese saya.
Ketika
kabar saya lolos beasiswa pertukaran ke Amerika tersebar, tidak sedikit saudara
dan teman saya maupun kolega-kolega orang tua saya memuji saya. Ada yang bahkan
pernah berkata “kalo beta punya anak nona, semoga dia ke Yona”. Beberapa
pencapaian saya sebelum itu juga dibawa ke percakapan, dan sampai ke telinga
saya. Saya akan jujur berkata bahwa pada saat itu, saya cukup tersanjung. Maksud
saya, siapa yang tidak demikian? Dibicarakan karena hal yang baik jelas lebih
membahagiakan dibanding dibicarakan karena hal buruk. Namun setelah menyelesaikan
program saya dan kembali, saya pelan-pelan menyadari bahwa ini semua tidak
semata karena usaha saya. Jelas saya tidak bisa mendiskreditkan belajar saya
dan waktu-waktu tidur yang saya korbankan untuk mencapai beberapa hal yang
dipuji itu, namun itu juga bukan berarti 100% hasil yang saya peroleh adalah karena
usaha dan belajar saya saja.
Saya
mampu berkuliah karena orang tua saya mampu membiayainya. Saya mendapatkan
nilai yang bagus dan dapat dibilang berprestasi hampir di semua jenjang
pendidikan saya karena fokus utama saya hanyalah belajar. Tidak, orang tua saya
tidak kaya raya. Ibu saya adalah seorang guru honorer di salah satu sekolah
menengah negeri dan Ayah saya kini memanfaatkan mobil kami untuk mengais rejeki
dari platform layanan daring. Tapi mereka selalu mampu mengusahakan yang
terbaik untuk saya dan pendidikan saya, sehingga saya tidak memiliki beban atau
tanggungan untuk membantu mencari uang bagi keluarga. Waktu-waktu saya bisa
saya maksimalkan untuk belajar, mengikuti lomba, menulis, debat, bermain
sasando, bersastra, bergiat di komunitas, serta melakukan hal-hal yang saya
sukai. Sedari kecil saya sudah diberi kamar sendiri sehingga saya bisa fokus
belajar karena tidak perlu membaginya dengan saudara saya. Saya ingat, saat saya sedang belajar di
sekolah dan ada lembaga tertentu yang datang untuk menjual buku atau mengadakan
tes prediksi TOEFL berbayar di kelas kami, saya tidak ragu-ragu mendaftarkan
diri karena saya tahu Mama akan selalu berkata ‘ya’ untuk urusan-urusan seperti
itu
Saya
tinggal di ibu kota provinsi, dimana saya punya akses yang baik untuk buku (ada
perpustakaan, ada toko-toko buku) dan jaringan internet. Ketika saya memutuskan
ingin bermain sasando, saya tahu saya bisa belajar sasando karena di Kupang ada
sanggar yang mengajarinya dan orang tua saya bersedia membiayainya. Ketika saya
ingin mengeksplor kemampuan saya di bidang sastra, saya punya akses yang baik
untuk bisa bergiat di komunitas yang berfokus pada bidang itu. Ketika saya
memutuskan untuk mendaftar beasiswa pertukaran ke Amerika, saya tidak lagi
terlalu mencemaskan urusan TOEFL karena sejak masih di bangku sekolah saya
sudah terbiasa dengan lingkungan berbahasa Inggris, juga mempunyai WiFi di
rumah untuk mempelajari dan mengikuti try out TOEFL secara daring. Dan
bagaimana saya bisa tahu bahwa ada beasiswa pertukaran mahasiswa ke Amerika?
Karena saya punya akses informasi yang baik.
Kesadaran-kesadaran
ini menjadi pengingat bagi saya untuk tidak perlu terbang tinggi ketika dipuji dan
tidak perlu menghakimi seseorang ketika ia gagal, karena ada banyak faktor yang
berperan dalam hidup kita, salah satunya adalah privilese.
Sekali
lagi, memiliki privilese bukan berarti mendiskreditkan usaha dan belajar
seseorang atas kesuksesan atau pencapaiannya. Namun jika pencapaian adalah garis
finish maka pahamilah bahwa privilese menempatkan seseorang di titik start
yang lebih di depan. Memiliki privilese juga bukan berarti tantangan-tantangan
di hidupmu tidaklah valid. Mereka valid. Tapi setidaknya privilese tidak menambah
panjang daftar tantangan hidupmu. Memiliki privilese juga bukan berarti sesuatu
yang buruk, sama sekali tidak.
Maka
ketika kamu, yang dengan sabar sudah membaca tulisan saya sampai di sini, sudah
atau mulai menyadari privilese kamu, apa yang harus kamu lakukan? Saya akan jawab:
manfaatkan dan maksimalkan itu untuk pengembangan dirimu, tapi juga gunakan itu
untuk membantu orang-orang yang kurang beruntung (kurang mampu, didiskriminasi,
dimarginalkan) karena tidak memiliki privilese sepertimu. Ketika kamu punya
segala sumber daya yang baik untuk belajar, gunakan. Ketika kamu adalah seseorang
yang beragama mayoritas dan melihat adanya diskriminasi terhadap orang dengan
agama minoritas, gunakan privilesemu untuk berdiri dan berbicara menghentikan
diskriminasi itu. Jika kamu laki-laki dan melihat ada perempuan dicatcalling
oleh laki-laki, tegurlah dia. Ketika kamu berkecukupan atau bahkan berkelebihan,
bantulah orang-orang yang berkekurangan. Pandemi dan PPKM atau apapun istilahnya
ini memang berdampak bagi semua kita, tapi mereka yang berpenghasilan tidak
tetap, yang bergantung dari jasa maupun jualanlah yang paling menderita. Kita
melawan gelombang yang sama, tapi perahu kita berbeda. Terima kasih sudah
membaca sejauh ini, semoga bermanfaat.
Referensi:
https://jubi.co.id/rasisme-terhadap-orang-papua-yang-terus-berulang/
https://www.wellandgood.com/types-of-privilege/
Comments
Post a Comment