Tennessee, 17-20 Januari 2020
“I
wanna go to Tennessee” kataku pada Arzu pagi itu. “Me too! Well, let’s go
next weekend! we have a break next Monday, so looong weekend is coming!”
balasnya. Yang kuingat adalah, esok lusanya sudah ada lima orang teman lain
yang bergabung dengan kami untuk pergi ke Tennessee. Arzu memang benar-benar
mengejutkan dan sangat bisa diandalkan dalam urusan mengumpulkan orang.
Malam-malam berikutnya dipenuhi dengan meeting di basement untuk
membahas trip ini. Ada yang mencari rental mobil dengan harga murah dan
bisa menyewakannya untuk pengemudi di bawah 25 tahun, ada yang mencari
penginapan, ada yang mencari info ke mana harus menyewa kamera, dan aku
bertugas untuk membuat daftar tempat wisata yang akan dikunjungi. Semua sibuk.
Diskusi di basement kadang berpindah ke Slim Chicken sambil masing-masing
menyantap makan malam.
Hari itu akhirnya tiba. Mobil, penginapan, jajan, dan kamera sudah siap. Kami berangkat dari Fayetteville sekitar pukul 5 sore, dan tiba di Little Rock pukul 9 malam (tentunya dengan beberapa pemberhentian untuk mengisi gas dan makan). Kami mampir sebentar ke Arkansas Capitol untuk mengambil beberapa gambar di sana, berjalan kaki ke Little Rock Bridge dan kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan ke Memphis.
Kami tiba di Memphis pukul 1 dini hari, dan
langsung menuju ke hotel yang sebelumnya sudah kami pesan lewat Air BnB.
Ebrahim dan Henri pergi ke lobby untuk check in, sementara kami
yang lain menunggu di dalam mobil. Setelah dua puluh menit menunggu, mereka
akhirnya kembali. Namun raut wajah mereka mengisyaratkan sesuatu tidak
baik-baik saja. “Let’s look for another hotel” kata Ebrahim. “What
happened with this one? I have booked it three days ago” balas Arzu
keheranan. “People are smoking everywhere even in the lobby. The staffs just
let them. It is not a good place to stay, even for just a night” sambung
Henri. Jadi begitulah. Pukul setengah dua dini hari kami terdampar di sebuah
lahan parkir antah-berantah di entah bagian mana kota Memphis, membuka handphone
masing-masing untuk mencari penginapan ganti (yang tentunya murah) untuk dini
hari ini. Kami menelpon dan mampir ke banyak hotel dan hostel, dan semuanya
hanya bisa menerima check in di atas pukul 9 pagi. Satu-satunya cara yang
tersisa adalah tidur di mobil. Masing-masing kami mengambil posisi paling
nyaman (setidaknya untuk ukuran 1 mobil van) dan tertidur.
Malapetaka
lain datang (setidaknya bagiku) ketika aku harus buang air kecil. Ditemani
Henri dan Saurav, kami berjalan mencari restoran fast food atau toko kecil atau
pom bensin yang masih buka. Kami berjalan sekitar satu kilometer dan menemukan
sebuah pom bensin. Kami segera berjalan ke arah gedung di belakang pom bensin
(yang biasanya menjual oli atau alat-alat untuk mobil) dengan tujuan
menggunakan kamar kecilnya. Terkunci. Kami menyeberang jalan untuk pergi ke
mini market tepat di depan pom bensin yang syukurnya masih buka. “Can we use
your toilet?” tanya Henri. “No” jawab si penjaga toko. Sial. Kami
keluar dari toko itu dan disambut dengan dua orang pria yang baru turun dari
sebuah mobil. Mereka tampak mabuk. Seorang dari mereka yang nampak lebih tua
berjalan ke arah kami dan mengulurkan tangannya ke arahku, seperti meminta untuk
berjabat tangan. Aku hampir saja menyambut uluran tangan itu -maksudku apa
salahnya berjabat tangan?- sebelum Henri menarikku. “He has something on his
hand, be careful” katanya. “Do you think it may be some drugs?”
tanyaku sambil kami berjalan kembali ke mobil. “Might be. It’s Memphis” jawab
Saurav. Oh Ya Tuhan! Hampir saja! Aku sudah tidak lagi merasa ingin buang air
kecil. Entah mengapa.
Perjalan pulang dilengkapi dengan hujan lebat. Kami basah kuyup, dan baru menemukan sebuah gereja setelah 15 menit berjalan kaki. Kami berteduh di sana sekitar 30 menit, dan akhirnya kembali ke mobil sekitar pukul 5 pagi, kemudian terlelap. Pukul 7 pagi kami akhirnya check in di sebuah hostel, dengan harga yang cukup murah, $120/malam untuk tujuh orang. Setelah mengganti pakaian dengan yang kering dan menyantap makan pagi, kami akhirnya berangkat menjelajahi Kota Memphis.
Pemberhentian pertama kami adalah Dixon Gallery&Gardens. Di sana, kami menikmati hasil-hasil karya lukisan maupun seni rupa lain yang pastinya tidak boleh disentuh sama sekali, hanya bisa ditatap. Sebenarnya saya bukan penggemar karya lukis maupun seni rupa, musik dan sastra merupakan bentuk seni yang paling bisa saya pahami. Tapi saya selalu mengagumi orang-orang yang bisa menggambar atau melukis, karena saya sama sekali tidak bisa menggambar.
Pemberhentian
kedua adalah tepi Sungai Mississippi, dekat Jembatan Hernando de Soto. Tennessee
berada di bagian selatan sehingga tidak ada salju. Tapi angin yang membawa
udara dingin hari itu cukup mampu menembus tulang. Bertahun-tahun yang lalu
saya pernah membaca sebuah cerita dari salah satu buku di serinya Laura
Inggals, entah buku ke berapa. Salah satu bagian dari buku itu bercerita
tentang Laura yang harus pergi jauh dari rumahnya, dan menyebrangi Sungai
Mississippi.
Sungai
ini punya peranan penting dalam sejarah peradaban Amerika, baik untuk suku asli
Amerika sendiri maupun bagi pendatang dari Eropa di abad ke 16. Dahulu, sungai
ini membelah negara adikuasa ini. Orang-orang pada zaman itu lebih memilih
untuk tinggal di sebelah timur sungai ini karena mereka memandang bagian barat
kurang cocok untuk ditinggali, sebelum akhirnya bermigrasi ke barat karena
berbagai faktor, yang kemudian dikenal sebagai “The West Expansion”. Bersumber
dari Danau Itasca di Minnesota, sungai ini mengalir sampai ke Teluk Meksiko,
2348 mil panjangnya. Kami selanjutnya menaiki bus kota bergaya klasik dengan
tarif $1/orang untuk satu kali perjalanan. Hari sudah sore dan warna jingga
mulai nampak di langit. Kami memutuskan untuk berhenti di bagian lain tepi
sungai Mississippi dan menikmati terbenamnya matahari di sana.
Malam tiba, dan bagian terbaik dari Memphis kami simpan di akhir hari. Beale Street. Jalan sepanjang 1,8 mil ini adalah rumah bagi Musik Blues, dan katanya merupakan America’s Most Iconic Street. Musik Blues terdengar di setiap restaurant maupun bar yang berdempetan sepanjang jalan itu. Orang-orang memakai pakaian-pakaian mewah dan unik memenuhi jalan dan bar-bar. Rasa-rasanya hanya kelompok kami saja yang terlihat biasa. Setelah lelah berjalan dari ujung ke ujung, kami memutuskan untuk masuk ke salah satu restaurant, memesan makan dan duduk menikmati musik blues yang dibawakan oleh band kecil di panggung. Suasana di dalam sangat meriah namun juga hangat. Ada yang duduk sambil bercerita dengan suara yang keras, ada yang menikmati burger sambil bergoyang kecil di tempat duduknya, ada yang berdansa dengan pasangannya di depan, serasa dunia hanya milik berdua. Sangat Amerika.
Esok harinya, kami bangun pagi sekali dan langsung berangkat ke Nashville. Sebenarnya kami ingin mampir ke Graceland yang merupakan kediaman Elvis Presley, tapi biaya masuk seharga $17/orang rasa-rasanya sangat mahal sehingga kami mengurungkan niat itu. Perjalanan memakan waktu sekitar tiga setengah jam, dan pemberhentian pertama kami adalah sebuah gerai White Castle, untuk makan siang. Belakangan ini barulah saya tahu bahwa White Castle adalah restaurant cepat saji pertama di Amerika Serikat.
Kami meninggalkan mobil di parkiran White Castle dan berjalan kaki.
Pemberhentian selanjutnya adalah Tennessee State Capitol, yang merupakan
kantor bagi Gubernur Negara Bagian Tennesse, yang juga salah satu bangunan
bersejarah Amerika Serikat. Di depan gedung itu terdapat War Memorial
Auditorium, untuk mengenang peristiwa-peristiwa perang yang pernah terjadi
di masa lalu, baik perang di Korea, Vietnam, Iran, dan lainnya.
Selanjutnya
kami menyusuri downtown Nashville, berhenti di toko-toko yang menjual boots
atau pakaian-pakaian cowboy (hanya sekadar melihat-lihat, karena
harga-harganya sungguh di luar jangkauan dompet kami), sampai akhirnya kami
kelelahan dan memutuskan untuk berhenti di salah satu Starbucks untuk menikmati secangkir kopi panas dan
beristirahat sejenak. Setelah dirasa energi yang didapat dari kopi dan udara
hangat di dalam ruangan sudah cukup untuk langkah berikutnya, kamipun berjalan
(lagi). Udara hari itu dingin luar biasa, dan sialnya saya memakai rok selutut.
Dingin di bagian kaki tidak bisa tertolong.
Kami
berjalan menuju John Seigenthaler Pedestrian Bridge, salah satu jembatan
pejalan kaki terpanjang di dunia. Nyatanya udara dingin tidak mengurungkan niat
orang-orang untuk menikmati Kota Nashville, jembatan yang lebar itu tetap saja
dipenuhi orang-orang. Nashville nampak sangat cantik, keseluruhan downtown
bisa dilihat dari atas jembatan ini. Gedung-gedung tinggi nan megah berbaur
dengan bangunan klasik, gang-gang kecil tempat hidupnya musik jazz dan blues juga
sekilas nampak dari sana.
Kiri-Kanan : Julio (Nicaragua), Ebrahim (Ethiopia), Henri (Belgium), Arzu (Azerbaijan), Yona (Indonesia), Saurav (India), Sunny (Pakistan)
Hari
mulai gelap dan kami memutuskan untuk kembali ke mobil. Berjalan kaki kembali
dengan jarak yang cukup jauh, dilengkapi dengan udara dingin bersuhu -2 ̊C bukanlah
hal yang menggembirakan. Kami memutuskan untuk menikmati sisa hari di Nashville dari mobil saja, sudah terlalu terlalu lelah untuk
berjalan lagi. Kami kemudian berhenti di salah satu pusat perbelanjaan untuk
membeli beberapa bahan makanan yang selanjutnya diolah oleh Julio menjadi nasi
goreng untuk makan malam. Jangan salah, nasi goreng bukan hanya milik
Indonesia. Nasi juga adalah makanan utama bagi sebagian besar negara Amerika
Latin.
Esok paginya kami terbangun dengan salju yang sudah menyelimuti mobil sewaan kami. Waktunya kembali ke Fayetteville. Nashville-Fayetteville ditempuh dalam waktu 8 jam. Perjalanan yang terbit dari celutukanku ke Arzu minggu lalu akhirnya selesai juga. Perjalanan yang sedikit ‘nekat’ menurutku. Kenapa? Karena kami semua baru berkenalan minggu lalu, dan semuanya mahasiswa internasional, tidak ada orang Amerika di antara kami. Hanya satu dari kami yang punya kartu SIM internasional. Dengan bermodalkan satu SIM itu, kami menyewa mobil dan berangkat. Drama muncul ketika awal kami tiba di Memphis, tapi selanjutnya semua berjalan dengan aman.
'Nekat' tidak pernah ada di hidup saya. Saya selalu punya pertimbangan dan perencanaan yang matang bahkan untuk hal-hal kecil sekalipun. Tapi untuk perjalanan ini, sepertinya memang harus nekat. Well, sampai
lagi nanti Tennessee!
Comments
Post a Comment