Saya
paham bahwa diberi kesempatan untuk berkuliah di luar negeri, hakekatnya bukan
hanya untuk membagikan cerita-cerita akhir pekan atau cerita jalan-jalan. Kami,
yang diberi kesempatan belajar di jauh sana, diharapkan bisa membawa pulang
pelajaran berharga untuk teman-teman kami, khususnya dalam hal belajar. Di
titik ini, saya belum bisa membawa hasil penelitian atau sesuatu hal yang
terlalu luar biasa. Yang bisa saya bawa saat ini adalah hasil pengamatan dan
pengalaman saya selama mengikuti proses perkuliahan di sana.
Kita
tentu berharap suatu saat nanti, kualitas institusi-institusi pendidikan kita
bisa setara dengan kualitas institusi-institusi pendidikan di sana. Tapi untuk
sampai ke sana, jelas butuh kerja sama banyak pihak. Kita memerlukan peningkatan
fasilitas belajar, terbukanya akses-akses untuk jurnal-jurnal internasional, ketersediaan
ruang-ruang belajar non kelas, dan masih banyak lagi. Maka untuk sekarang, apa
yang bisa kita (mahasiswa dan dosen) bisa lakukan? Kita bisa mulai dari meniru
kebiasaan belajar mereka di sana.
Dalam tulisan ini, saya mencoba
mendaftar dan menjelaskan hal-hal apa saja yang bisa kita terapkan, untuk
setidaknya kualitas pembelajaran di kelas meningkat. Berikut poin-poinnya:
1. Tepat
Waktu
Pembelajaran di kelas jelas mengikuti jadwal, dan
diharapkan mahasiswa hadir tepat waktu. Tapi yang sering terjadi di kelas-kelas
kita adalah, bukan hanya satu atau dua mahasiswa yang sering telat, dosenpun
sering telat. Kadang kala, mahasiswa harus menunggu dosen hingga setengah jam
lamanya. Syukur-syukur jika dosen masih bisa dihubungi untuk menanyakan
kejelasan perkuliahan hari itu, kadang ada yang sudah ditunggu tapi tak juga
datang. Ini realita yang masih sering kita temui di kelas-kelas kita.
Di sana, dosen dan mahasiswa hadir tepat waktu. Beberapa
dosen saya bahkan hadir 10 menit sebelum kelas dimulai untuk mempersiapkan
alat-alat (menghapus papan, membuka file powerpoint, dsb), begitu jam tepat
menunjukkan waktu yang ditentukan, perkuliahan tepat dimulai. Jika memang ada
kendala tertentu yang mengakibatkan kelas tidak bisa dilangsungkan hari itu,
dosen wajib mengirimkan email pemberitahuan maksimal 2 jam sebelum kelas
dimulai karena jika tidak, dosen akan mendapat teguran langsung dari pihak
fakultas. Jadi tidak ada cerita mahasiswa sudah hadir di kelas tapi dosen tak
kunjung datang.
Kelas yang batal itu, digantikan dengan tugas atau
kelas lain di hari yang sesuai dengan jadwal kelas itu. Jadi, tidak ada cerita
kelas hari selasa pagi diganti ke rabu sore. Mengapa? Karena waktu adalah salah
satu hal krusial. Mahasiswa di sana tidak hanya berkuliah, sebagian besar juga
bekerja. Mahasiswa dipandang bukan sebagai individu yang hanya belajar, dan
hanya dosenlah yang punya kepentingan di sana-sini. Mahasiswa juga. Mahasiswa
juga punya kerja, organisasi, komunitas, dan kepentingan-kepentingan lain yang
juga sudah terjadwal, jadi tidak elok dan sangat egois rasanya jika hal-hal itu
harus batal atau jadwalnya berantakan hanya karena satu kelas diganti
jadwalnya.
Ada pepatah yang berkata “time is money”, waktu
berharga. Ketika proses pembelajaran dilaksanakan tepat waktu, serta pihak yang
mengajar dan diajar menghargai waktu tersebut, kegiatan belajar bisa berjalan
jauh lebih efektif. Dosen tidak perlu terburu-buru dalam menjelaskan karena ‘mulai
telat’ atau ‘keburu waktu’ dan mahasiswa juga punya waktu untuk bertanya dan
berdiskusi lebih banyak.
2. Membaca
dan membaca
Bertahun-tahun saya bersekolah, saya merasa sah-sah
saja untuk masuk kelas tanpa membaca terlebih dahulu. Di sana, masuk kelas
tanpa membaca terlebih dahulu rasanya seperti sesuatu yang haram. Membaca bukan
hanya diwajibkan untuk kelas-kelas sejarah atau hukum yang memang berkutat
dengan banyak literatur, di kelas Fisika yang notabenenya lebih banyak berhadapan
dengan rumus-rumus, mahasiswanya diharapkan sudah membaca lebih dahulu tentang
teori-teori dan konsep-konsep fisika, sebelum di kelas nanti, rumusnya
diturunkan lebih lanjut. Saya sempat bertanya ke beberapa teman, dan jawaban
mereka hampir sama: “rasa-rasanya tidak ada dari kami yang berani masuk kelas
tanpa membaca terlebih dahulu”.
Materi perkuliahan yang hendak diajarkan, sudah
diunggah oleh dosen maksimal H-1 sebelum kelas itu dimulai. Di bagian akhir
materi biasa tertera buku-buku apa dan bab-bab berapa saja yang dijadikan
referensi dan perlu dibaca lebih lanjut oleh mahasiswa. Jadi, kami sama sekali
tidak punya alasan untuk tidak belajar dan membaca terlebih dahulu. Kebiasaan ini
akan sangat baik jika diterapkan oleh kita semua. Masuk kelas tidak dengan
kepala yang kosong, tapi sudah dengan ‘bekal-bekal’ dasar akan membuat proses
belajar di kelas jauh lebih efektif karena semua jelas sudah berada di ‘titik start’
pemahaman yang sama sebelum materi dijelaskan.
3. Bertanya
Tidak ada pertanyaan yang bodoh, semua pertanyaan yang
diajukan di dalam kelas butuh jawaban dan diskusi lebih lanjut. Di
minggu-minggu awal perkuliahan, saya masih malu-malu untuk bertanya. Takut
sekali jika ketika menyampaikan pertanyaan, bahasa Inggris saya tidak
terstruktur atau malah tidak dimengerti oleh dosen, takut dijudge karena
bertanya hal-hal remeh, yang mungkin seharusnya sudah dipahami. Saya
mendiskusikan masalah ini dengan advisor saya, dan jawabannya demikian :
“Yona, tidak ada pertanyaan yang bodoh di dalam kelas”.
Sejak itu, saya memilih untuk melawan rasa takut saya
dan bertanya setiap kali ada hal yang kurang saya pahami. Semua mahasiswa
berhak bertanya, dan setiap pertanyaan berhak mendapat jawaban. Diskusi di
kelas berjalan dengan seru, semua pertanyaan dan pendapat dihargai, tidak
memandang siapa atau warna kulit apa atau dari suku apa orang yang mengajukan
pertanyaan itu. Ruang akademik hidup, dan pembelajaran berjalan jauh lebih
menyenangkan.
Sering kita temui, ketika dosen selesai memaparkan materi
dan membuka ruang untuk bertanya, sedikit sekali yang mengangkat tangan (bahkan
terkadang, sesi bertanya lebih didominasi keheningan). Banyak faktor yang menyebabkan
ini, seperti misalnya mahasiswa sendiri yang tidak menyimak materi dengan baik,
takut berbicara, juga takut pertanyaannya dinilai ‘kurang akademik’. Faktor
yang pertama jelas keteledoran mahasiswa sendiri, faktor kedua bisa diasah
dengan melatih kemampuan berbicara, sementara faktor yang ketiga mungkin perlu
saya ingatkan lagi: tidak ada pertanyaan yang bodoh.
4. Komunikasi
yang baik
Berapa banyak dari kita yang sering kali mengerjakan
tugas tapi tidak tahu solusinya? Sudah membaca banyak referensi, memakai rumus
ini dan itu tapi tak kunjung mendapat jawaban? Dahulu ketika mengerjakan tugas,
saya sering mengosongkan jawaban di nomor yang tidak saya dapat solusinya. Ini
terjadi selama bertahun-tahun, dan saya merasa baik-baik saja.
Ketika di sana, para dosen membuka komunikasi seluas-luasnya
bagi mahasiwa, tinggal bagaimana kami sebagai mahasiswa memanfaatkan peluang
itu. Pernah satu kali, saya sedang mengerjakan tugas dari salah satu mata
kuliah dan saya sama sekali tidak mendapatkan solusinya. Dengan kegusaran itu,
saya mengirimkan email kepada dosen saya dan dengan jujur berkata bahwa
saya mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas yang dia berikan. Dosen saya membalas
email itu dengan meminta saya datang ke kantornya saat office hours
untuk berdiskusi lebih lanjut tentang bagian mana yang tidak saya pahami.
Contoh seperti ini sangat baik jika kita terapkan.
Dosen yang membuka komunikasi dan mahasiswa yang berani mengambil kesempatan
itu, juga bersedia berterus terang ketika ada hal yang tidak dimengerti.
Di akhir tulisan ini, saya hanya berharap
semoga poin-poin di atas bisa kita terapkan di ruang-ruang kelas kita. Memang, pendidikan
di Indonesia belum setara dengan mereka di sana, tapi kebiasaan-kebiasaan baik
seperti ini bisa kita terapkan, bukan?
Comments
Post a Comment