Arkansas
dikenal dengan sebutan ‘The Natural State’, negara bagian ini punya banyak
sekali sungai, hutan, gua-gua, sumber-sumber mata air panas, dan air terjun.
Sebagai orang yang lebih senang menikmati waktu sendiri di dalam kamar, saya
awalnya berpikir bahwa saya tidak akan tertarik untuk menikmati ‘petualangan’
di Arkansas. Namun pandemi terjadi, lalu kelas-kelas dipindahkan ke sistem
belajar daring, banyak acara dibatalkan, dan saya banyak menangis karena merasa
sendirian di negara orang ketika virus mematikan ini sedang gencar-gencarnya
menyebar ke seluruh penjuru dunia. Saya tahu saya tidak bisa terus bersedih dan
menangis mengunci diri di kamar asrama, jadi begitu salah seorang teman saya
mengajak saya untuk pergi hiking, saya langsung mengiyakan.
Kami berangkat dari Fayetteville pada pukul 10 pagi. Butuh waktu sekitar 40 menit untuk tiba di Devil’s Den. Kami memarkir mobil tepat di samping sebuah perkebunan, kemudian berjalan ke jalur hiking. Suhu hari itu mencapai 20an derajat celsius, cukup hangat untuk pertengahan bulan Maret, dan sangat pas untuk melakukan aktivitas outdoor. Kami melewati tanah yang becek dan berlumpur sisa hujan kemarin, serta tebing yang di bawahnya terbentang luas Buffalo National River juga hutan Ozarks.
Yang
paling berkesan adalah, ada seorang ibu muda yang membawa serta bayinya yang
mungkin baru berusia beberapa bulan, kami bertemu mereka di tebing. Entah ini
pemandangan lumrah di negara ini atau tidak, tapi rasa-rasanya jarang sekali
saya melihat ada orang yang membawa serta bayi ikut menelusuri hutan dan hiking
di arena (yang menurutku) sangat tinggi dan cukup berbahaya. Saya langsung
mengingat Mama, yang dulu harus membawa tas lebih ketika harus berpergian
membawa adik-adik saya ketika masih bayi. Tas ekstra besar yang dulu Mama bawa,
di dalamnya harus ada baju ganti, celana, popok, berbagai macam minyak, bubur,
dan termos air panas. Sementara si ibu muda ini, hanya punya ransel kecil di
belakang tubuhnya, dengan bayi di dadanya yang ditopang dengan carrier. Luar
biasa.
Setelah
satu setengah jam berjalan dan memanjat, kami akhirnya memutuskan untuk
berhenti di salah satu spot di atas sebuah gunung batu dan menjadikannya
titik akhir petualangan kita di hari itu. Kami duduk, menyantap makanan dan
minuman yang dibawa, sambil menikmati pemandangan Buffalo National River juga
hutan Ozarks. Ada banyak orang di bawah sana yang sedang canyoning dan rafting
di sungai. Di beberapa spot di hutan juga terlihat ada tenda-tenda.
Sepertinya memang banyak orang memilih untuk melarikan diri sejenak dari
kegilaan pandemi ini dengan berkegiatan di alam.
Minggu
depannya dengan personel yang sama, kami memutuskan untuk camping dan rafting.
Abbey, Bea, dan Emily menjemput saya di asrama sekitar pukul 9 pagi. Bagian
belakang mobil sudah sesak dengan tenda, kursi-kursi lipat, kayu-kayu bakar
(yang ternyata DIBELI dengan harga sekitaran $6 atau Rp.90.000, di Kupang saya
hanya perlu memungutnya di halaman belakang), dan berbagai perintilan yang
lain. Kami mampir sejenak untuk mengisi gas dan membeli air mineral, kemudian
mobil melaju ke area camping. Tak beda dari hiking minggu lalu,
ternyata arena camping juga cukup penuh (tapi penghuni tenda yang
berbeda tetap saling berjaga jarak), orang-orang sepertinya sudah bosan
mendekam terus di rumah, dan memilih untuk mengeksplor alam, apalagi kalau
tinggal di negara bagian “The Natural State”.
Kami
mendirikan tenda dan memasang hammock. Kemudian kami meninggalkan tenda
kami, berjalan sedikit ke sebelah kiri area perkemahan, dan berjemur sejenak di
tepi sungai. Ini juga salah satu perbedaan mencolok yang saya temui. Di
Indonesia atau di negara-negara Asia pada umumnya, orang-orang akan memilih
mengenakan payung atau jaket ketika berkegiatan di luar, untuk menghindari
terik sinar matahari. Di sini, begitu matahari muncul, orang-orang akan
berjemur, memakai pakaian-pakaian tipis dan pendek, untuk sebisa mungkin mendapat
paparan sinar matahari. Entah untuk alasan tanning atau apa, tapi saya
pribadi akhirnya mengerti mengapa demikian. Setelah melewati musim dingin
dengan salju dan hujan serta berlapis-lapis jaket, syal dan sarung tangan,
tentu orang-orang akan merindukan hangatnya matahari. Saya pun demikian.
Sore
tiba dan kami mulai membuat api unggun. Dahulu saya sering menonton di
film-film, orang-orang membakar marshmallow di perapian. Entah mengapa
saya tidak pernah melakukannya ketika dahulu berapi unggun di Kupang, tapi
bersyukur akhirnya bisa dilakukan di sini. Kami menikmati smores yang
merupakan perpaduan dari biscuit,marshmallow, dan coklat. Kami juga
memanggang sosis, kemudian mengisinya di tengah hot dog bun, menambahkan
saus sesuka hati, dan menyantapnya sebagai makan malam. Sisa malam kami
habiskan dengan duduk melingkari api, bernyanyi, dan bercerita tentang banyak
hal. Malam yang indah, dengan banyak bintang, di suatu campsite di
Arkansas yang sudah kulupa namanya, empat orang perempuan dari tiga negara
berbeda, bercerita dan berbagi banyak hal. Malam yang indah sekali.
Esoknya
kami bangun pagi-pagi sekali, menikmati sarapan, mengemas kembali tenda serta
barang-barang yang kami bawa, memasukannya ke dalam mobil dan bergegas menuju tempat
penyewaan canoe dan raft. Kami tidak lagi berempat, kali ini kami
ditemani oleh sepasang suami-istri yang kami kenal di gereja. Pope dan istrinya
memang dikenal sebagai ‘bapak dan ibu’ bagi mahasiswa-mahasiswi internasional yang
bergereja di Fellowship Church. Awalnya kami berencana untuk menyewa
beberapa canoe, yang masing-masingnya berisi 1-2 orang. Tapi mengingat
sebagian besar dari kami kurang akrab dengan petualangan di air, kami akhirnya
memutuskan untuk menyewa raft supaya kami semua bisa tetap bersama-sama.
Hal
yang paling menantang adalah ketika kami harus melewati bagian-bagian sungai
yang arusnya lebih deras, butuh kerja sama tim yang baik untuk ini. Kami
berhenti beberapa kali untuk makan, mengeksplor hutan di sekitar sungai dan mandi
di air terjun. Saya juga beberapa kali menemukan ular, anehnya saya tidak
sepanik yang saya bayangkan. Total jarak yang kami tempuh adalah sepuluh mil,
sungguh pencapaian luar biasa bagi saya secara personal.
Kami
tiba kembali di Fayetteville ketika langit sudah mulai berwarna jingga. Sungguh
pengalaman yang indah. Pandemi ini sungguh menggila, dan kita butuh ‘melarikan
diri’ sejenak dari kegilaan ini. Hiking, camping, dan rafting sebelumnya
tidak pernah masuk dalam to-do list saya, tapi akhirnya saya melakukannya
sebagai bentuk pelarian. Apa pelarianmu?
Comments
Post a Comment