Skip to main content

Farvel

Aku sedang menapaki anak-anak tangga menuju kamar ketika kudengar handphone di saku berbunyi; menandakan adanya notifikasi di salah satu social media milikku. Aku memutuskan untuk mengeceknya sesampai di kamar nanti. Hari ini hari pertama kelas online. Sungguh sesuatu yang sangat di luar perkiraanku. Begitu mendorong kenop pintu kamar 303, aku kemudian menyalakan lampu dari sakelar yang sudah sangat kuhafal tempatnya, meletakkan laptop, buku, dan pena di meja belajar, kemudian mengeluarkan benda persegi panjang berwarna hitam itu dari saku hoodie milikku.

Jantungku meloncat ketika melihat nama kontak yang tertera di notifikasi. Aku sudah berhasil memfokuskan pikiran sewaktu kelas tadi berlangsung, berhasil mengesampingkan semua kelabu dan kebingungan yang dengan sangat tega menyelimutiku hari-hari ini. Tapi cukup satu notifikasi, satu, dan semua itu kembali lagi. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya sebelum jempol kananku menyentuh layar dan membuka aplikasi WhatsApp. Total ada empat pesan, dari satu kontak.

Hey Yona, I’m in airport now waiting for my flight”

“Just want to say thank you for everything”

“And please take care of yourself”

“Its been nice getting to know you”

Empat pesan itu terkirim pukul 14.17 waktu Fayetteville.

            Aku memencet tombol di bagian kanan handphone dan sinar yang terpancar dari layar benda itu sirna. Aku bingung. Entah harus kujawab apa pesan-pesan ini. Oh jelas, jelas sekali ini pesan selamat tinggal. Aku sudah tahu sejak kemarin bahwa momen ini akan tiba, sudah sebisa mungkin mempersiapkan diri untuk menghadapi momen ini, namun sepertinya hal yang kusebut dengan persiapan itu tidak cukup.

            Empat pesan itu secara tidak langsung merupakan simbolisasi berakhirnya makan siang di Union juga kopi sore di Starbucks yang biasanya diisi dengan percakapan-percakapan antara dua manusia yang datang dari belahan bumi yang berbeda. Tanda bahwa tidak akan ada lagi sosok bermata abu-abu dengan rambut pirang -yang katanya digunting setiap tiga minggu sekali- yang biasa duduk di sebelah kananku saat kelas terakhir hari Selasa dan Kamis. Percakapan-percakapan random maupun yang serius kini bergema di kepala; dari yang paling basa-basi seperti “How’s your day?” “How’s your classes going?”How’s your weekend?”How’s your hometown look like?” “What are the holidays that your family celebrates back home?” ke pertanyaan-pertanyaan aneh seperti “If you get a $100 and could only spend it once, what would you buy?” atau“If you can fix only one thing in world, what would it be?”  sampai ke hal-hal serius seperti “What you gonna do for life?” “How do you see yourself 10 years later?” “What is it like to be the oldest?”.

            Pikiranku dengan sangat teganya menerbangkanku ke tempat-tempat dan jalan-jalan yang pernah kita tapaki. Kantor internasional, rumah sakit kampus, Arkansas Union, HPER, food court, Hillside Auditorium, toko buku bekas di Dickson Street, Bud Walton Arena, Slim Chicken di kompleks Founders, air mancur di depan patung Fulbright, Shuttle yang disediakan pihak apartemenmu, ruang tamu asramaku, Roller City dan Mall di Rogers,  ruang musik di Quad, Mullins Library, kelas kita di Discovery Hall, bangku-bangku tua di depan Old Main dan Graduates School, setapak di The Greek Theater untuk menuju ke Starbucks, bahkan kantor polisi. Tak lupa juga spot kecil di depan Bell Engineering yang menghadap ke arah barat Dickson, berseberangan langsung dengan gedung Fisika – tempat kamu biasa memarkir scooter. Masih belum puas, bayang-bayang Bentonville beserta Walmart Museum, Crystal Bridges, Table Mesa, Museum of Native American History, bahkan menu makan siang yang kita pesan hari itu kini menari-nari di kepalaku. Ini menyakitkan.

            Aku mencoba mengetik beberapa kalimat, namun menghapusnya lagi. Layar di handphone milikku sudah nampak buram. Dengan jari yang sedikit gemetar, aku kemudian mengetik

Hey”

“Have a safe flight back home”

“Stay safe and healthy”

“So glad knowing you. Thank you for everything”

Satu air mata lolos, diikuti dengan airmata lain yang sedari tadi kutahan. Pesan-pesan itu bercentang satu, jelas menandakan satu hal: kamu sudah pergi. Kamu terbang dengan membawa serta kepingan dari hatiku, kepingan yang kutahu jelas tidak akan pernah kembali. 

           Kenyataan berpisah memang sudah ada sedari awal. Ini hanyalah masalah siap dan tidak siap, dan jelas aku sangat tidak siap; tidak dengan tiba-tiba dan karena virus jahat ini. Aku sadar bahwa kita adalah dua manusia yang banyak bercakap ketika mata bertemu mata, tapi tidak dari layar dengan layar. Jadi angan-angan berkomunikasi dengan teknologi jelaslah omong kosong dan hanya basa-basi dalam kasus kita. Hal paling bijaksana saat ini adalah mengakhirinya dengan balasan pesan itu. Selamat jalan. Farvel.

 


Comments

Popular posts from this blog

Global UGRAD Program; Proses Seleksi, Tips dan Trik

Tulisan-tulisan saya sebelumnya banyak bercerita mengenai kehidupan saya di Amerika Serikat, tepatnya di Kota Fayetteville, Arkansas. Di tulisan kali ini, saya akan membahas mengenai beasiswa yang memberangkatkan, menyekolahkan dan menghidupi saya selama hidup di sana. Beasiswa Global UGRAD. Global Undergraduate Exchange Program (Global UGRAD) merupakan salah satu program beasiswa yang disponsori oleh US Department of State dan dikelola oleh World Learning. Beasiswa ini diperuntukkan bagi mahasiswa/mahasiswi jenjang studi S1 dari berbagai negara untuk berkuliah selama 1 atau 2 semester di universitas-universitas di Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri, proses seleksi beasiswa ini dikelola oleh AMINEF (American Indonesian Exchange Foundation). Untuk deskripsi lebih lengkap mengenai program ini, silakan klik tautan berikut:  https://www.worldlearning.org/program/global-undergraduate-exchange-program/  dan untuk persyaratan-persyaratannya, silakan klik tautan berikut:  https://www.amin

Tujuh Petualang

Tennessee, 17-20 Januari 2020 “ I wanna go to Tennessee” kataku pada Arzu pagi itu. “ Me too! Well, let’s go next weekend! we have a break next Monday, so looong weekend is coming!” balasnya. Yang kuingat adalah, esok lusanya sudah ada lima orang teman lain yang bergabung dengan kami untuk pergi ke Tennessee. Arzu memang benar-benar mengejutkan dan sangat bisa diandalkan dalam urusan mengumpulkan orang. Malam-malam berikutnya dipenuhi dengan meeting di basement untuk membahas trip ini. Ada yang mencari rental mobil dengan harga murah dan bisa menyewakannya untuk pengemudi di bawah 25 tahun, ada yang mencari penginapan, ada yang mencari info ke mana harus menyewa kamera, dan aku bertugas untuk membuat daftar tempat wisata yang akan dikunjungi. Semua sibuk. Diskusi di basement kadang berpindah ke Slim Chicken sambil masing-masing menyantap makan malam. Hari itu akhirnya tiba. Mobil, penginapan, jajan, dan kamera sudah siap. Kami berangkat dari Fayetteville sekitar pukul 5 sore,

Aku Sudah Di Sini

Fayetteville, 6 Januari 2020 Aku sudah benar-benar di sini. Ini sudah pukul delapan malam, dan aku baru punya momen sunyi untuk menyadari bahwa sungguh aku sudah benar-benar di sini. Pesawatku mendarat di Northwest Arkansas Regional Airport pukul 11.57, dan aku tiba di kampus pukul 13.00. Begitu tiba, aku langsung mengurusi beberapa administrasi yang berkaitan dengan asrama, dilanjutkan dengan pergi berbelanja di Walmart untuk mengisi kamarku yang kosong, serta keperluan-keperluanku yang lain. Aku tiba kembali di kampus sekitar pukul 17.00, membawa seluruh hasil belanjaku ke kamar, memasang seprai yang baru kubeli, dan mencoba terlelap. Tapi tak bisa. Usahaku untuk terlelap memakan waktu satu jam, dan sungguh selelah apapun aku tetap tidak bisa tidur. Aku menghubungi Arzu temanku dan mengajaknya makan malam. Kami makan di satu-satunya restoran cepat saji di dalam lingkungan kampus yang untungnya sudah dibuka. Perkuliahan baru akan dimulai minggu depan, kampus masih sepi. Dining Hal